Eksklaustrasi adalah tinggalnya seorang religius (yang berkaul kekal) di luar atau jauh dari komunitasnya dengan izin dari pemimpinnya dengan alasan yang berat.
Beberapa hari lalu setelah dengan sederhana saya menulis tentang leave
of absence ada yang kemudian bertanya tentang apa bedanya dengan yang namanya
“eksklaustrasi”. Saya berusaha untuk membantu dengan menjawabnya via tulisan
ini.
Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 juga berbicara dengan terperinci soal
mereka yang ingin berpisah dari tarekatnya (bdk. kan 684-693). Ada dua macam
tipe seorang anggota tarekat berpisah dengan tarekatnya: yang pertama adalah
dengan pindahnya seorang anggota tarekat ke tarekat lain (kan.684-685). Lalu
yang kedua adalah dengan keluarnya seorang anggota dari tarekatnya
(kan.686-693). Pada tipe yang kedua yakni keluarnya seorang anggota dari
tarekatnya terbagi lagi dalam dua model yakni yang bersifat “temporary” (yang
kemudian dikenal dengan istilah Eksklaustrasi) dan yang “definitve” (atau biasa
juga disebut dengan istilah sekularisasi). Tema yang akan dibahas disini adalah
soal eksklaustrasi.
Eksklaustrasi sendiri berasal dari Bahasa Latin “exclaudere” (ex: from,
out of---claudere: to close, to shut up). Sederhananya eksklaustrasi adalah
tinggalnya seorang religius (yang berkaul kekal) di luar atau jauh dari
komunitasnya dengan izin dari pemimpinnya dengan alasan yang berat. Pada masa
dulu, kata eksklaustrasi ini merujuk pada istilah “temporary secularization”.
Eksklaustrasi yang sering terjadi biasanya disebut “voluntary exclaustration”
yang berarti bahwa inisiatif untuk eksklaustasi itu datang dari anggota
religius yang bersangkutan. Tapi ijin untuk eksklaustrasi hanya akan diberikan
oleh Pemimpin Tertinggi dengan persetujuan dewannya dengan durasi waktu untuk
eksklaustrasi tidak lebih dari 3 tahun. Dan bila yang meminta eksklaustrasi
adalah seorang klerikus perlu didahului dengan persetujuan dari Ordinaris
Wilayah dimana ia harus bertempat tinggal nanti (bdk. Kan.686§1). Sedangkan
bagi para rubiah, indult eksklaustrasi hanya dapat diberikan oleh Taktha Suci
(Kan.6822).
Periode waktu untuk eksklaustrasi tidak selamanya harus 3 tahun.
Religius yang bersangkutan bisa meminta untuk jangka waktu yang pendek, kurang
dari 3 tahun. Bisa saja periode waktu yang tertulis dalam indult eksklaustrasi
adalah 3 tahun tapi jika semua alasan untuk eksklaustrasi sudah “beres” maka
yang bersangkutan bisa kembali ke komunitasnya dengan ijinan terlebih dahulu dari
Pemimpinnya. Tapi apabila ada kasus dimana seorang religius ingin memperpanjang
periode eksklaustrasi lebih dari 3 tahun maka otoritas yang berwenang adalah
Takhta Suci. Dengan lain kata, ijin untuk lebih dari 3 tahun direservasi bagi
Takhta Suci jika tarekat tingkat kepausan dan direservasi bagi Uskup diosesan
jika tarekatnya tingkat keuskupan.
Sampai disini mungkin ada yang bertanya: apa sajakah prosedur umum untuk
proses “voluntary exclaustration” ini? Ada beberapa tahapan untuk mengurus
ekslaustrasi: Pertama, religius yang bersangkutan menulis surat kepada Pemimpin
Tertinggi dengan mengungkapkan keinginannya untuk eksklaustrasi dengan
menyertakan beberapa potongan informasi, misalnya: (a) curriculum vitae, (b)
alasan-alasan mendasar untuk meminta indult eksklaustrasi, (c) usaha-usaha yang
dilakukan untuk menyelesaikan kesulitannya (misalnya: spiritual director,
konseling, dll) dan (d) periode waktu untuk eksklaustrasi harus jelas (sekali
lagi tidak harus 3 tahun). Kedua, Pemimpin tertinggi memanggil para dewannya
untuk berdiskusi dan mengambil keputusan. Setelah dengan suara deliberatif dari
dewan general, keputusan yang diambil harus diberitahukan kepada religius yang
meminta eksklaustrasi dan sejak saat itu indult eklaustrasi berlaku. Ketiga ,
pada dokumen eksklaustrasi ada pula beberapa hal penting yang perlu disertakan
dan harus diperhatikan dengan baik oleh religius yang eksklaustrasi: (a) yang
bersangkutan jelas dan sadar mengerti dengan apa diminta dan kondisinya, (b)
dia akan kehilangan hak suara aktif dan pasifnya, (c) dia mungkin atau mungkin
tidak akan memakai baju biaranya selama periode eksklautasi, (d) tarekat atau
religius yang eksklaustrasi perlu memberi tahu Uskup diosesan dimana dia akan
bertempat tinggal dan juga memberi tahu dengan jujur status eksklaustrasinya.
Selama periode eksklaustrasi, religius yang bersangkutan masih tetap sebagai anggota tarekat/kongregasi. Namun ada beberapa perubahan terkait dengan hubungan kanonik antara dia dan kongregasinya: “anggota yang terkena eksklaustrasi dibebaskan dari kewajiban-kewajiban yang tidak dapat disesuaikan dengan keadaan hidupnya yang baru” (kan.687). Faktanya, kita bisa mencatat beberapa perubahan yang sering terjadi: misalnya berkaitan dengan kaul kemiskinan, para religius yang eksklaustrasi secara praktis dibebaskan untuk sementara dari kewajiban yang timbul dari kaul ini. Selain itu, jika ia memperoleh pekerjaan dan ia dapat menyimpan penghasilan yang ia dapat untuk menunjang hidupnya, meskipun pada prinsipnya, apa pun yang diperoleh religius tetap menjadi milik dan menjadi bagian yang harus diberikan pada kongregasi. Namun, jika religius yang eksklaustrasi membutuhkan bantuan, termasuk keuangan, kongregasi/tarekat perlu mengindahkannya dengan kewajaran dan cinta kasih (kan.686§3). Berkaitan dengan kaul ketaatan, para religius yang eksklaustrasi dibebaskan dari kewajiban-kewajiban yang timbul dari kaul ini yang tidak sesuai dengan kondisi kehidupan yang baru. Tapi komunikasi reguler diharapkan antara religius bersangkutan dan pemimpinnya tetap harus terjaga meskipun hal ini sangat tergantung pada kesepakatan bersama keduanya. Dan yang terakhir berkaitan dengan kaul kemurnian, akan tinggal tetap utuh (remain intact) dan diharapkan tidak terpengaruh (remain unaffected).