Paus juga memberi alarm akan durasi waktu saat homili, katanya: “Jika homili berlangsung terlalu lama, hal itu akan mempengaruhi dua unsur khas perayaan liturgis: keseimbangan antara bagian-bagiannya dan iramanya."
Cardinal J. Ratzinger pernah
mengatakan: “Keajaiban Gereja adalah bertahan dari jutaan homili buruk setiap
hari Minggu”. Masih dalam nada yang selaras, Carlo Bo seorang kritikus sastra
juga mengatakan: "Homili adalah siksaan orang beriman. Homili
mempromosikan ketertiduran. Saat homili adalah saat umat beriman paling sering
melihat arlojinya. Dan itu bisa terus berlanjut”.
Ketika kita berbicara
soal homili, satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah munculnya “banyak
keluhan dan ratapan”. Pertanyaan lanjut: mengapa muncul “banyak
keluhan-ratapan”?
Bisa saja karena persiapan
pengkhotbah yang buruk atau alasan lain yang beragam. Bisa jadi karena homili
terlalu panjang dan membosankan, homili yang tidak berpusat pada Sabda Allah,
homili dingin, yang tidak menyentuh hati komunitas umat beriman; homili yang
tidak beda dengan pelajaran di ruang kelas, terlalu “teologis” atau terlalu
konkret, tetapi dangkal atau sangat moralistik; homili yang tidak meyakinkan;
homili bertele-tele dan monoton.
Berkaca pada
keluhan-ratapan ini, Gereja (baca: para pelayan rohani) sepertinya gagap dan
gugup berhadapan dengan cairnya dunia komunikasi multimedia dan interaktif yang
semakin meningkat.
Di awal tulisan ini,
saya tampilkan di sini beberapa dokumen Gereja yang mengajak semua kita untuk
menaruh perhatian pada homili. Kita ambil beberapa contoh.
Pada tanggal 22 Februari
2007, melalui Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis Paus Benediktus
XVI berbicara juga tentang pentingnya homili (SC 46). Lalu pada tahun 2008,
diadakan Sinode para Uskup tentang Sabda Allah. Sebagai tanggapan lanjut, Paus
Benediktus XVI melalui Anjuran Apostolik Verbum Domini (2010) meminta
kepada otoritas-otoritas berwenang untuk menyiapkan suatu Pedoman Homili (bdk.
VD 60).
Pada tahun 2012, tiga
lembaga Kuria Roma: tentang liturgi, katekese dan komunikasi sosial – menyelenggarakan
seminar dan studi dengan mengundang para ahli homiletika, liturgi dan
komunikasi terkemuka, untuk melanjutkan permintaan Paus Benediktus XVI. Dan
sudah pasti elaborasi dan artikulasi lanjutan dari Pedoman Homili ini juga
berhutang budi pada pemikiran Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Evangelii
Gaudium (24 November 2013).
Paus Fransiskus
mengatakan: “Betapa baiknya bila imam-imam, para diakon dan kaum awam berkumpul
secara berkala untuk menemukan sarana-sarana yang dapat membuat khotbah menjadi
lebih menarik” (EG.159). Dan pada 29 Juni 2014, Kongregasi untuk Ibadat Ilahi
dan Tata Tertib Sakramen-sakramen berhasil mewujudkan mimpi kita semua
dengan lahirnya dokumen “Pedoman Homili” yang terjemahkannya diterbitkan
dalam edisi Bahasa Indonesia pada Februari 2020.
Homili dalam Evangelii Gaudium
Saya tidak membahas
semua dokumen di atas, tetapi hanya ingin tampilkan apa yang telah dianjurkan
oleh Paus Fransiskus dalam Seruan Apostoliknya “Evangelii Gaudium”. Paus
Fransiskus berbicara dengan sangat menarik dan sederhana soal homili dalam
dokumen ini. Kita bisa temukan anjuran tentang homili ini dari artikel 135-159.
Paus Fransikus menulis: “Marilah
sekarang memikirkan khotbah dalam liturgi, yang memerlukan pertimbangan serius
dari para pastor. Saya akan memperhatikan khususnya, dan bahkan dengan amat
saksama, homili dan persiapannya, karena begitu banyak keprihatinan telah
diutarakan mengenai pelayanan penting ini dan kita tidak dapat menutup telinga
begitu saja” (art.135).
Lebih lanjut pada artikel yang
sama, Paus ulas bolak-balik akan pentingnya homili: “Homili merupakan alat uji
untuk menilai kedekatan dan kemampuan pastor untuk berkomunikasi dengan
umatnya. Kita tahu bahwa umat beriman sangat mementingkan hal itu, dan bahwa
baik mereka maupun pelayan tertahbis mereka menderita karena homili: kaum awam
menderita karena harus mendengarkannya dan kaum klerus menderita karena harus
berkhotbah kepada mereka! Menyedihkan bahwa demikianlah halnya. Homili
sebenarnya dapat menjadi pengalaman yang mendalam dan membahagiakan akan Roh,
suatu perjumpaan dengan sabda Allah yang menghibur, sumber pembaruan dan
pertumbuhan yang tetap”.
Karena itu, Paus dalam artikel
selanjutnya, artikel 137 menulis: “Homili memiliki arti penting yang istimewa
karena konteks ekaristisnya: homili melampaui segala bentuk katekese sebagai
saat puncak dalam dialog antara Allah dan umat-Nya yang membimbing kepada
persekutuan sakramental. Homili mengangkat kembali dialog yang sudah dibuka
antara Tuhan dengan umat-Nya”. Pengkhotbah harus mengenal hati komunitasnya
untuk menemukan di mana kerinduan mereka akan Allah hidup dan berkobar, juga di
mana dialog, yang begitu penuh kasih, telah dihalangi dan sekarang tidak berbuah.
Pada artikel 138, Paus
juga mengingatkan bahwa: “Homili tidak bisa berbentuk hiburan seperti yang
disajikan oleh media, tetapi sungguh perlu memberikan hidup dan makna kepada
perayaan. Homili adalah genre istimewa, karena merupakan khotbah yang ditempatkan
dalam kerangka perayaan liturgis; oleh karena itu homili harus singkat dan
menghindari kemiripan dengan pidato atau ceramah. Seorang pengkhotbah mungkin
dapat menarik perhatian pendengarnya selama satu jam penuh, tetapi dalam hal
ini kata-katanya menjadi lebih penting daripada perayaan iman itu sendiri”.
Masih pada artikel yang sama Paus
juga memberi alarm akan durasi waktu saat homili, katanya: “Jika homili
berlangsung terlalu lama, hal itu akan mempengaruhi dua unsur khas perayaan
liturgis: keseimbangan antara bagian-bagiannya dan iramanya. Ketika berlangsung
dalam konteks liturgi, khotbah menjadi bagian dari persembahan kepada Bapa dan
pengantaraan rahmat yang dicurahkan oleh Kristus selama perayaan. Konteks ini
mendesak agar khotbah bisa membimbing umat, dan juga pengkhotbah, menuju
persekutuan dengan Kristus dalam Ekaristi, suatu persekutuan yang mengubah
hidup. Hal ini berarti bahwa kata-kata pengkhotbah harus diupayakan sedemikian
rupa, sehingga Tuhan, lebih daripada pelayan-Nya, akan menjadi pusat perhatian”
(art.138).
Dalam Kitab Suci, misalnya, kita
dapat menemukan nasihat tentang bagaimana mempersiapkan homili untuk memastikan
ukurannya yang tepat: “Hendaknya singkat dan katakanlah banyak dengan kata
sedikit” (Sir 32:8, bdk.art.156). Mengutip juga kata-kata Paus Paulus
VI, Paus mengatakan bahwa “umat beriman... berharap banyak dari khotbah, dan
akan memperoleh manfaat yang besar daripadanya, asalkan khotbah itu sederhana,
jelas, langsung, disesuaikan dengan situasi mereka”.
Pada artikel 145 Paus lanjut
menulis: “Persiapan khotbah merupakan tugas yang sangat penting sehingga waktu
yang lama untuk studi, doa, refleksi serta kreativitas pastoral perlu
dicurahkan untuk itu. Akhirnya, pada bagian akhir dari tema tentang homili ini
Paus menulis soal ciri postif dari homili itu sendiri, katanya: “Ciri lain
homili yang baik adalah bersifat positif. Khotbah yang positif selalu
menawarkan harapan, menunjukkan masa depan, tidak meninggalkan kita terjebak
dalam hal-hal negatif.” (art.159).
Yang Perlu Dihindari dalam Homili
Dari apa yang disampaikan Paus
dalam dokumen Evangelii Gaudium di atas, ada 3 hal penting yakni: hakikat
homili, fungsi homili dan konteks homili. Seringkali ketiga hal ini kurang
begitu diperhatikan oleh para homilitikus. Karena itu, pada bagian akhir dari
tulisan ini, saya akan tampilkan beberapa tipe homili yang perlu dihindari.
Pertama, Homili Sosiologis. Homili
bukanlah diskursus sosial-politik atau budaya. Seorang pengkotbah kata Karl
Barth, perlu memegang “Alkitab di tangannya dan koran di sakunya” (dan mungkin
kita tambahkan dan: arloji di depan matanya).
Kedua, Homili Apologetik. Homili
bukanlah ruang untuk membela orang atau lembaga gerejawi. Seperti yang ditulis
Ovidio, "penyebab yang buruk menjadi lebih buruk ketika anda ingin
mempertahankannya”.
Ketiga, Homili Moralistik.
Homili yang baik bukanlah yang penuh dengan desakan moralistik dengan
klise-klise etiket moral yang biasa diisi dengan kewajiban, larangan dan resep
keharusan yang didiktekan oleh akal sehat. Kata St. Hilarius dari Poitiers: “Veritas
non ex hominibus ratione, sed ex Verbo Dei”.
Keempat, Homili ala Talk Show.
Homili dalam rupa ini akan mengeroposkan dan menghilangkan pesan Sabda Allah
yang didengar. Dan perhatian pendengar akan lebih pada pengkhotbah daripada
inti pesan Injil. Jelas bahwa pesan Sabda Allah, yang harus tetap menjadi inti
dari setiap homili”. “Jangan biarkan firman Tuhan tercemar di bibir kita dengan
puing-puing ideologi”, tulis Uskup Tonino Bello dalam doa kepada uskup Oscar
Romero. Atau kata St. Thomas Aquinas, “Tugas utama yang Tuhan berikan dalam
hidup saya adalah: bahwa setiap kata dan perasaan saya berbicara tentang Dia”.
Kelima, Homili Auto-celebratif. Homili
bukanlah panggung untuk memamerkan di mana pembawa pesan diagungkan lebih dari
pesannya. Homili bukanlah simposium untuk memamerkan pengetahuan yang hambar
dan perayaan diri yang superficial. Kata Santo Yohanes Krisostomus: “Tugas saya
adalah mengajar dengan hati bukan pamer kefasihan dan kepintaran diri”. Seorang
pengkotbah yang hebat dalam berkata-kata dapat menaklukkan penonton, tetapi
Sabda Tuhan menginginkan hati yang berbicara dari hati ke hati.
Saya menutup tulisan ini dengan
mengingat apa yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam Audiensi Umum, 7
Februari 2018 dalam katekese tentang Liturgi Sabda Allah yang membahas khusus
tentang homili. Kata Paus: homili harus singkat, paling lama sepuluh menit, dan
dipersiapkan dengan baik. Hanya perlu beberapa konsep sederhana yang
diekspresikan dengan cara yang dapat dipahami semua orang dan tidak jatuh pada
godaan pada pesona improvisasi atau logika hiburan. Karena jika benar bahwa
banyak umat yang menjadikan “keberhasilan” Misa bergantung pada kualitas
homili, juga pasti bahwa perkataan pengkhotbah tidak boleh lebih penting dari
perayaan itu sendiri.
Sentuhan Sabda Tuhan
itu harus lebih bersinar dari kata-kata pengkotbah. Oleh karena itu,
pengkhotbah yang baik, bahkan lebih dari sekedar mengetahui bagaimana berbicara
dengan baik, menggunakan waktu yang tepat, harus membiarkan orang merasakan
Firman Tuhan, memelihara iman, mempersiapkan persekutuan sakramental dengan
Kristus.
Sebagai umat biasa saya sendiri lebih memilih dan menyukai homili Romo yang singkat, padat, jelas, dan menyentuh. Artinya makna dari isi injil disampaikan secara nyata dan sesuai dengan realita. Dapat memberi inspirasi, minimal 1 Minggu ke depan. Kotbah panjang saya yakini bahwa Si Romo justru mengagungkan dirinya saja, bukan Dia. Apalagi di sekitar KAJ. Umat lebih banyak memilih gereja mana yang misanya selesai lebih cepat namun mendapatkan penyegaran rohani yang berkualitas, bukan kuantitas. Romo² di paroki kami sudah bagus homili nya, hanya ada 1 romo yang saking girang menyanyi, dalam kotbah terkadang sampai 3 lagu dinyanyikan. Suara memang bagus dan kotbah juga berisi dan sangat OK. Tetapi dengan lamanya waktu homili dan nyanyi, akhirnya apa yg menjadi intisari kotbah jadinya malah hilang sehingga menyebabkan kebosanan. Semoga melalui tulisan ini, banyak Romo yang dapat refleksi sehingga jangan sampai menjadi Romo yang dicap kotbah kurang menyentuh dan lama lagi.
@Anastasia Hartini, terima kasih banyak untuk pehatiannya bagi para Romo kita ya.